Dalam sebuah pertempuran besar, kaum muslimin berhadapan dengan pasukan kafir. Seorang laki-laki kafir berdiri dan menentang kaum muslimin untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Orang kafir itu seorang yang gagah berani dan memiliki kekuatan yang tidak bisa diremehkan.
Orang kafir itu berdiri dengan gagah sambil menunggu orang yang akan melawannya. Namun, tak seorangpun di antara kaum muslimin berani maju untuk melawannya hingga akhirnya Ali bin Abi Thalib datang menemui Rasulullah saw. Dan meminta izin kepada beliau untuk melawannya.
Awalnya, Rasulullah sempat khawatir terhadap Ali karena yang akan dihadapinya adalah seseorang yang memiliki kekuatan dan memiliki teknik tempur yang baik. Namun, Ali meyakini Rasulullah bahwa dia bisa melawannya dengan kekuatan yang dimilikinya. Rasulullah pun mengizinkan Ali untuk melawannya.
Beberapa saat kemudian, Ali sudah berdiri di hadapan orang kafir itu dengan pedangnya. Tanpa menunggu waktu lama, terjadilah pertempuran antaraAli bin Abi Thalib dan orang kafir itu. Keduanya bertempur denga mengerahkan seluruh kemapuan masing-masing. Terkadang, orang kafir itu mendesak Ali. Namun, terkadang Ali mampu mendesak kafir itu hingga kerepotan.
Tiba-tiba saja Ali menyabet pedangnya ke arah musuh dengan kuat. Orang kafir itu mencoba untuk menahan dengan pedangnya, namun sabetan pedang ali terkuat baginya sehingga pedangnya terpental lepas dari tangannya. Lalu, dalam sekejap, Ali menjatuhkan hingga tubuh orang kafir itu terempas ke tanah dan mendorong pedang ke arah tubuhnya.
Wajah orang kafir itu tampak pucat karena kini ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki harapan lagi untuk hidup. Kekalahan yang di alaminya bukan saja merupakan kekalahan dirinya, tapi juga kekalahan bagi seluruh orang kafir. Dia merasa malu dan marah dengan kekalahan itu. Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba saja dia meludahi Ali dan mengolok-oloknya.
Ali merasa gusar dengan apa yang dilakukan orang kafir itu terhadap dirinya. Wajahnya merah padam dan kemarahannya meluap. Ingin sekali dia membunuh musuhnya saat itu juga. Akan tetapi, Ali tidak melakukannya. Tiba-tiba saja, ia menurunkan pedangnya, lalu menyarungkan kembali dan hendak pergi.
Melihat sikap Ali yang sedemikian rupa, orang kafir itu merasa heran. Batinnya berkata,” Mengapa ia tidak segera membunuhku? Bukankah aku telah kalah? Dan, bukankah seharusnya dia marah karena aku ludahi? Tapi, kenapa ia malah mau pergi?”
Rasa penasaran tak mampu ia bendung sehingga ia pun berkata kepada Ali,” Wahai ,Ali, kenapa engkau tidak membunuhku? Bukankah engkau bisa melakukan dengan sangat mudah. Seharusnya engkau marah karena aku telah meludahimu dan segera membunuhku.”
Ali yang telah bisa menguasai dirinya menatap wajah musuh saat itu juga. Lalu, dengan tenang dia menjawab,” Engkau memang benar. Jika aku mau, aku bisa membunuhmu dengan sangat mudah. Apalagi engkau telah meludahiku sehingga aku ingin sekali membunuhmu saat itu juga.”
“Lalu, mengapa kau tidak melakukannya?” Kembali orang kafir itu bertanya.
“Sesungguhnya aku berperang karena aku berharap mendapatkan keridaan Allah. Oleh karena itu, perangku ini bukan untuk diriku sendiri,tetapi untuk Allah. Aku berperang melawan musuh-musuhku karena dorongan agamaku. Sebelum kau meludahiku,niat ku ikhlas berperang hanya untuk Allah hingga aku terbunuh atau musuhku yang terbunuh,” kata Ali dengan semangat.
“Akan tetapi,” lanjutnya,” setelah engkau meludai wajahku,aku marah terasa terhina. Saat itu nafsuku untuk membunuhmu sesegera mungkin muncul. Namun, jika itu aku lakukan, aku akan jatuh menjadi orang yang paling hina karena aku membunuh menuruti hawa nafsuku, bukan karena keikhlasanku kepada Allah. Oleh karena itu, untuk apa sebab mengapa aku tidak jadi membunuhmu dan meninggalkanmu.”
Orang kafir itu tercengang mendengar penjelasan Ali. Ia baru pertama kali melihat seorang manusia yang memiliki kepribadian yang agung seperti Ali r.a Ia melihat keyakinan Ali yang sangat begitu besar terhadap agamanya, sehingga menjadikannya sebagai sosok manusia yang memiliki sikap yang luar biasa.
Comments
Post a Comment