Suatu hari, seorang laki-laki shalih bernama Tsabit bin Ibrahim berjalan di pinggiran Kota Kufah. Wajahnya tampak kelelahan dengan keringat yang terus membanjiri wajah dan tubuhnya.
Tiba-tiba, wajahnya tampak gembira ketika di hadapannya terlihat sebuah sungai. Ia pun bergegas menuju sungai dan mengambil airnya yang jernih untuk diminum. Seketika itu juga hausnya hilang.
Disaat Tsabit menikmati kesegaran air sungai itu, tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah apel yang hanyut ke arahnya. Dengan sigap, diambilnya buah apel itu.
“Hmm… Apel merah yang menggiurkan,” gumamnya dalam hati.
Cuaca yang makin panas membuatnya makin tertarik untuk menikmati apel itu. Tanpa menunggu lama, apel itu di arahkan menuju mulutnya dan langsung digigitnya. Rupanya, Tsabit sangat menikmati rasa apel merah yang sangat segar itu. Namun, baru setengahnya ia makan, dia teringat bahwa apel itu bukan miliknya dan dia belum meminta izin kepada pemiliknya. Hal ini tentu saja membuat khawatir karena ia takut makanan yang masuk ke dalam perutnya adalah makanan haram.
Tsabit kemudian mecoba menemukan pemilik apel dengan menyusuri sungai. Ia berpikir bahwa pemilik apel itu tentu memiliki rumah yang dekat dengan sungai.
Setelah beberapa lama, akhirnya Tsabit melihat sebuah pohon apel yang dibawahnya terdapat sungai. Ia juga melihat sebuah rumah yang kemungkinan besar pemiliknya adalah pohon apel itu.
Diketuklah pintu rumah itu sambil mengucap salam. Tak berapa lama, terdengar suara balasan dan pintu pun terbuka. Seorang laki-laki yang sudah cukup tua berdiri di hadapan Tsabit.
“Apakah Anda pemilik pohon apel di depan itu?” tanya Tsabit dengan sopan.
“Benar, ada apa,ya?” tanya laki-laki tua itu.
Tsabit kemudian berkata, “Begini, Tuan. Saya sudah terlanjur memakan buah apel milik Tuan yang jatuh ke sungai. Oleh karena itu, maukah Tuan menghalalkan apa yang sudah saya makan itu?” pinta Tsabit dengan sangat.
Laki-laki tua itu mengamati Tsabit dengan saksama. Di hadapannya berdiri seorang anak muda yang jujur, sopan, bertanggung jawab. Ia merasa kagum dengan sikap yang diperihatkan anak muda itu. Lalu, ia pun berkata,” Anak Muda, aku telah bersusah payah merawat pohon apel ini. Aku akan menghalalkan apel yang tekah engkau makan, tapi dengan satu syarat.”
Tsabit tertegun sekaligus khawatir karena ia takut tidak mampu memenuhi syarat yang akan diajukan laki-laki tua itu. Lalu, Tsabit bertanya,” Apa syaratnya ,Tuan?”
“Engkau harus menikahi putriku” jawab laki-laki tua itu.
Tsabit tidak memahami maksud dan tujuan laki-laki tua itu, lalu ia pun bertanya utuk memastikan,” Apakah hanya karena aku makan setengah dari apelmu maka aku harus menikahi putrimu?”
Akan tetapi,laki-laki tua itu tidak memedulikan pertanyaan Tsabit. Ia bahkan berkata lagi,” Sebelum pernikahan dimulai,engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku. Dia seorang gadis buta, bisu, dan tuli. Selain itu, ia juga seorang gadis yang lumpuh.”
Tsabit terkejut dengan apa yang dikatakan laki-laki tua itu. Dia berpikir, apakah perempuan seperti itu pantas untuk dipersuntingnya sebagia istri hanya karna sebuah apel.
Tiba-tiba,laki-laki tua itu berkata,”Jika engkau tidak setuju dengan syarat itu maka maaf saja, aku tidak bisa menghalalkan apel yang telah engkau makan itu.”
Tsabit terdiam ragu, namun akhirnya dia setuju untuk menikahi putri laki-laki tua itu. Ia berpikir bahwa lebih baik menikahi putri laki-laki tua itu dari pada terdapat makanan haram didalam perutnya. Bukankah Rasulullah saw. Sudah memperingatkan kita melalui sabdanya : Barang siapa yang tubuhnya diisi dengan barang yang haram maka ia lebih baik dibakar oleh api neraka.
Dengan mantap, Tsabit kemudian berkata,” Aku akan menikahi putri Tuan karena aku senantiasa berharap mendapat rida Allah.”
Laki-laki tua itu makin kagum dengan sikap Tsabit. Pernikahan pun akhirnya dilaksanakan. Upacara pernikahan dilangsungkan dengan cukup sederhana.
Setelah upacara selesai, Tsabit dipersilahkan menemui istrinya. Tsabit kemudian mengucap salam meskipun ia tahu bahwa istrinya itu bisu. Tsabit berpikir bahwa malaikat yang ada di sekitarnya tentu tidak tuli dan tidak pula bisu.
Namun, tak disangka sama sekali, wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabiy masuk dan hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.
Tsabit mskin terkejut menyaksikan kenyataan ini. Ia berpikir telah salah masuk kamar. Oleh karena itu, dengan cepat Tsabit keluar dari kamar. Ia bergegas menemui laki-laki tua itu yang kini menjadi bapak mertuanya.
“Wahai Bapak, bukankah Bapak mengatakan bahwa istri saya buta,bisu, tuli dan lumpuh? Akan tetapi kenapa wanita yang ada dikamar itu berbeda dengan Bapak ceritakan?” tanya Tsabit kebinggungan.
Bapak mertua Tsabit tersenyum seraya berkata,” Begini,Anakku. Kukatakan tuli dan bisu dia tidak pernah mengatakan dan mendengar hal-hal yang dilarang agama. Kukatan ia buta dan lumpuh karena ia tidak pernah melihat sesuatu dan pergi ke tempat yang dilarang agama. Itulah maksudku.”
Mendengar jawaban bapak mertuanya itu, Tsabit sangat gembira. Ia pun sangat bahagia karena mendapatkan istri yang teramat shalih dan senantiasa memelihara kehormatan dirinya.
Tsabit dan istrinya yang shalihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian, mereka dikaruniai seorang putra yang kelak ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia, beliau adalah Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit.
Tiba-tiba, wajahnya tampak gembira ketika di hadapannya terlihat sebuah sungai. Ia pun bergegas menuju sungai dan mengambil airnya yang jernih untuk diminum. Seketika itu juga hausnya hilang.
Disaat Tsabit menikmati kesegaran air sungai itu, tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah apel yang hanyut ke arahnya. Dengan sigap, diambilnya buah apel itu.
“Hmm… Apel merah yang menggiurkan,” gumamnya dalam hati.
Cuaca yang makin panas membuatnya makin tertarik untuk menikmati apel itu. Tanpa menunggu lama, apel itu di arahkan menuju mulutnya dan langsung digigitnya. Rupanya, Tsabit sangat menikmati rasa apel merah yang sangat segar itu. Namun, baru setengahnya ia makan, dia teringat bahwa apel itu bukan miliknya dan dia belum meminta izin kepada pemiliknya. Hal ini tentu saja membuat khawatir karena ia takut makanan yang masuk ke dalam perutnya adalah makanan haram.
Tsabit kemudian mecoba menemukan pemilik apel dengan menyusuri sungai. Ia berpikir bahwa pemilik apel itu tentu memiliki rumah yang dekat dengan sungai.
Setelah beberapa lama, akhirnya Tsabit melihat sebuah pohon apel yang dibawahnya terdapat sungai. Ia juga melihat sebuah rumah yang kemungkinan besar pemiliknya adalah pohon apel itu.
Diketuklah pintu rumah itu sambil mengucap salam. Tak berapa lama, terdengar suara balasan dan pintu pun terbuka. Seorang laki-laki yang sudah cukup tua berdiri di hadapan Tsabit.
“Apakah Anda pemilik pohon apel di depan itu?” tanya Tsabit dengan sopan.
“Benar, ada apa,ya?” tanya laki-laki tua itu.
Tsabit kemudian berkata, “Begini, Tuan. Saya sudah terlanjur memakan buah apel milik Tuan yang jatuh ke sungai. Oleh karena itu, maukah Tuan menghalalkan apa yang sudah saya makan itu?” pinta Tsabit dengan sangat.
Laki-laki tua itu mengamati Tsabit dengan saksama. Di hadapannya berdiri seorang anak muda yang jujur, sopan, bertanggung jawab. Ia merasa kagum dengan sikap yang diperihatkan anak muda itu. Lalu, ia pun berkata,” Anak Muda, aku telah bersusah payah merawat pohon apel ini. Aku akan menghalalkan apel yang tekah engkau makan, tapi dengan satu syarat.”
Tsabit tertegun sekaligus khawatir karena ia takut tidak mampu memenuhi syarat yang akan diajukan laki-laki tua itu. Lalu, Tsabit bertanya,” Apa syaratnya ,Tuan?”
“Engkau harus menikahi putriku” jawab laki-laki tua itu.
Tsabit tidak memahami maksud dan tujuan laki-laki tua itu, lalu ia pun bertanya utuk memastikan,” Apakah hanya karena aku makan setengah dari apelmu maka aku harus menikahi putrimu?”
Akan tetapi,laki-laki tua itu tidak memedulikan pertanyaan Tsabit. Ia bahkan berkata lagi,” Sebelum pernikahan dimulai,engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku. Dia seorang gadis buta, bisu, dan tuli. Selain itu, ia juga seorang gadis yang lumpuh.”
Tsabit terkejut dengan apa yang dikatakan laki-laki tua itu. Dia berpikir, apakah perempuan seperti itu pantas untuk dipersuntingnya sebagia istri hanya karna sebuah apel.
Tiba-tiba,laki-laki tua itu berkata,”Jika engkau tidak setuju dengan syarat itu maka maaf saja, aku tidak bisa menghalalkan apel yang telah engkau makan itu.”
Tsabit terdiam ragu, namun akhirnya dia setuju untuk menikahi putri laki-laki tua itu. Ia berpikir bahwa lebih baik menikahi putri laki-laki tua itu dari pada terdapat makanan haram didalam perutnya. Bukankah Rasulullah saw. Sudah memperingatkan kita melalui sabdanya : Barang siapa yang tubuhnya diisi dengan barang yang haram maka ia lebih baik dibakar oleh api neraka.
Dengan mantap, Tsabit kemudian berkata,” Aku akan menikahi putri Tuan karena aku senantiasa berharap mendapat rida Allah.”
Laki-laki tua itu makin kagum dengan sikap Tsabit. Pernikahan pun akhirnya dilaksanakan. Upacara pernikahan dilangsungkan dengan cukup sederhana.
Setelah upacara selesai, Tsabit dipersilahkan menemui istrinya. Tsabit kemudian mengucap salam meskipun ia tahu bahwa istrinya itu bisu. Tsabit berpikir bahwa malaikat yang ada di sekitarnya tentu tidak tuli dan tidak pula bisu.
Namun, tak disangka sama sekali, wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabiy masuk dan hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.
Tsabit mskin terkejut menyaksikan kenyataan ini. Ia berpikir telah salah masuk kamar. Oleh karena itu, dengan cepat Tsabit keluar dari kamar. Ia bergegas menemui laki-laki tua itu yang kini menjadi bapak mertuanya.
“Wahai Bapak, bukankah Bapak mengatakan bahwa istri saya buta,bisu, tuli dan lumpuh? Akan tetapi kenapa wanita yang ada dikamar itu berbeda dengan Bapak ceritakan?” tanya Tsabit kebinggungan.
Bapak mertua Tsabit tersenyum seraya berkata,” Begini,Anakku. Kukatakan tuli dan bisu dia tidak pernah mengatakan dan mendengar hal-hal yang dilarang agama. Kukatan ia buta dan lumpuh karena ia tidak pernah melihat sesuatu dan pergi ke tempat yang dilarang agama. Itulah maksudku.”
Mendengar jawaban bapak mertuanya itu, Tsabit sangat gembira. Ia pun sangat bahagia karena mendapatkan istri yang teramat shalih dan senantiasa memelihara kehormatan dirinya.
Tsabit dan istrinya yang shalihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian, mereka dikaruniai seorang putra yang kelak ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia, beliau adalah Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit.
Comments
Post a Comment