Sesuatu hari, ketika Umar bin Ubaidullah bin Ma’mar berjalan-jalan, dia melewati seorang laki-laki hitam yang sedang makan di sebuah kebun. Di depannya ada seekor anjing. Jika dia makan satu suap, dia melemparkan satu suapan pula kepada anjing tersebut.
Melihat hal itu, Umar merasa heran dan kemudian bertanya kepada laki-laki hitam itu, ”Apakah itu anjingmu?”
“Bukan,” jawabnya singkat.
“Mengapa kamu memberinya makan seperti apa yang kamu makan?” kembali Umar bertanya dengan penuh penasaran.
Lalu, laki-laki hitam itu menuturkan jawabannya, ”Aku malu dari pemilik dua mata (Allah SWT) yang melihatku, sementara aku menguasai makanan itu dan dia(anjing) tidak makan.”
Jawaban itu membuat Umar kagum. Dia tidak menyangka orang dihadapannya memiliki jiwa yang demikian agung. Kemudian, Umar bertanya lagi,” Apakah kamu orang yang merdeka atau hamba sahaya?”
Dia menjawab, ”Saya hamba sahaya milik keluarga di bani Ashim.”
Kemudian, Umar pergi dan mendatangi keluarga dari bani Ashim tersebut. Ia lalu membeli hamba sahaya itu sekaligus membeli kebunnya. Selanjutnya, dia menemui laki-laki hitam dan berkata,” Apakah kamu mengetahui bahwa Allah telah memerdekakanmu?”
Laki-laki itu terkejut, namun tidak lama kemudian mulutnya berbicara, ”Segala puji bagi Allah semata dan rasa syukur bagi orang yang memerdekanku sesudahnya.”
Umar makin kagum dengan kepribadian laki-laki itu. Ia lalu berkata, “Sekarang, kebun ini untukmu.”
Dia berkata, ”Saksikan lah bahwa kebun ini adalah wakaf kepada fakir miskin di Madinah.”
Umar terkejut mendengar ucapan laki-laki. Ia tidak menyangka bahwa kebun yang ia hadiahkan justru diwakafkan oleh laki-laki itu untuk fakir miskin di Madinah. Ia kemudian berkata, ”Mengapa kamu melakukan hal tersebut, padahal engkau sendiri memerlukannya?”
Kemudian, dia menjawab, ”Aku malu kepada Allah. Dia telah memberiku karunia, lalu bagaimana mungkin aku kikir kepada-Nya.”
Umar hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Kekagumannya terhadap laki-laki itu makin tinggi.
Comments
Post a Comment